Cerita Misteri Bertarung Dengan Jin Saat Mengambil Harta Karun

Bertarung Dengan Jin Saat Mengambil Harta Karun Untuk mengangkat setumpuk batangan emas, saya bertarung mati-matian dengan sosok jin. Tetapi, sesudah sukses yang berlangsung malah begitu mengecewakan.... 

Saat saya tengah melihat tayangan Dunia Lain di Trans TV, sembari nikmati secangkir kopi ginseng, isteriku memberi tahu bila diluar ada tamu yang menginginkan berjumpa denganku. Saya bergegas. Di ruangan tamu kulihat Pak Achmad. Dia tengah membuka-buka koran pagi. Sesudah basa-basi sebentar, ia segera pada pokok masalah yang menginginkan dikatakannya. Serta saya menyimaknya baik-baik. 
“Kurang lebihnya demikianlah kesimpulannya, Pak. Lantaran Pak Wahyu yang modalin, berapa juga hasilnya kelak, dia siap membagi sama rata, ” Pak Achmad tutup penuturannya. 
“Yang saya fikirin bukanlah itunya. Saya heran, atas dasar apa Bu Chaidar demikian yakin serta meyakini bila di tempat tinggalnya ada timbunan harta peninggalan almarhum? Apakah Pak Chaidar itu orang kaya? Atau, salah seseorang koruptor, mungkin? ” tukasku, sangsi. 
Sahabatku yang bernama komplit Achmad Ali itu tersenyum. “Soal itu saya juga tidak paham. Namun yang pasti, Bu Chaidir meyakini seratus % bila harta itu memanglah ada, ” tuturnya. 
Kami memanglah telah punya kebiasaan bercakap diimbangi humor, kadang-kadang sindir sana sindir sini, namun tema masalah tetaplah berlanjut, seperti malam itu. Sesudah menyalakan rokok, Pak Achmad Ali kembali bertutur, “Menurut Bu Chaidar, pada awalnya lewat mimpi. Almarhum suami¬nya yang katakan bila dia sendiri yang menyimpan emas tersebut di bawah lantai ruangan tamu. Namun dia berpesan bila ‘tanaman’ itu baru dapat diangkat sesudah genap waktunya, serta cuma bakal jadi fakta bila yang meng¬angkatnya yaitu seorang yang berhati lurus. Berarti, tidak dapat dikerjakan oleh sembarang orang. ” 
“Berapa banyak jumlahnya? ” tanyaku, beralih serius. 
“Kalau tidak salah, sesudah sekian kali Bu Chaidar menghadirkan orang pandai ke tempat tinggalnya, rata-rata menyampaikan ada sekitaran 40 batang. Itu menurut mereka. Sedang menurut irit saya, seumpamanya Pak Wahyu sudi, kelak kan dapat diperiksa lagi. Setelah itu saya serahkan seutuhnya sama Pak Wahyu. Demikian pesan Bu Chaidar. ” 
Saya manggut-manggut mendengar cerita yang bernada mengundang selera itu. Sebagai seseorang yang di kenal mempunyai kekuatan mengangkat harta terpendam dengan kemampuan supranatural, sudah pasti saya mesti terima tawaran menarik ini. 

Satu minggu lalu, Pak Achmad Ali mengenalkan saya pada Ibu Chaidar. Sesudah berteman serta dapat cepat akrab, wanita di ambang umur senja itu mulai bercerita lagi ihwal mimpi-mimpinya. 
“Kenapa saya demikian meyakini kalau benda itu memanglah ada, lantaran mimpi itu selalu berkali-kali datang dalam tidur saya, ” tuturnya. 
Malam itu juga saya melakukan penerawangan, menembus dunia lain lewat ketajaman mata batinku. Akhirnya? Cukup memberikan keyakinan. Apa yang kulihat tidak jauh beda dengan apa yang dikisahkan Ibu Chaidar. Dibawah lantai ruangan tamu tempat tinggal wanita yang sudah lama hidup menjanda itu memanglah terlihatan lantakan emas. Sesudah terasa meyakini, jadi kupastikan segera hari H untuk ritual pengangkatan. 
Selasa malam, 9 Desember 2003, semuanya fasilitas telah tersaji rapi. Diantaranya, 7 jenis buah-buahan, 7 rupa kembang, 7 jenis jajan pasar, sebatang cerutu komplit dengan kinang bantalan, sepiring nasi putih, seekor ikan mas goreng, sebungkus rokok kretek Gudang Garam Merah, kopi manis serta kopi pahit, teh manis serta teh pahit, satu gelas air putih, serta sebotol minyak spesial yang umum dipakai untuk melakukan upacara ritual sejenis ini. Minyak itu umum juga dimaksud “Minyak Jin. ” Harga nya jutaan rupiah. Sebab, tanpa ada memakai minyak seperti itu, rasa-rasanya begitu tidak tebal peluang bakal sukses dengan lancar serta baik. 
Beberapa orang sudah berkumpul di ruangan tengah, berdzikir membaca Surat Al-Ikhlas seperlunya. Pengertian seperlunya disini adalah baru bisa berhenti sesudah ada panduan dari Pak Nurdin, salah seseorang rekanku, yang bakal di sampaikan lewat saya, serta saya mesti segera memberitahukannya pada mereka yang berdzikir. 
Di kamar spesial yang sudah kupadamkan lampunya, cuma ada saya serta Pak Nurdin. Saya selalu berhubungan serta begitu melelahkan. Berdasar pada pendeteksian, jin yang kuasai lantakan emas itu bernama Jin Kucrit. Sesudah diselenggarakan dialog, si Kucrit ini itu tidak ingin menyerahkan demikian saja apa yang kami minta. Dia tetaplah bertahan sesuai sama perintah sang majikan, yakni sebelumnya genap hitungan enam th. mulai sejak benda itu ditanam oleh almarhum Pak Chaidar, dia akan tidak menyerahkan pada siapa juga, meski kami melakukan hajat ini atas permintaan isterinya sendiri. 
Cukup lama kami bertarung dengan Jin Kucrit. Nyaris satu jam. Pak Nurdin selalu keluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk menaklukkan Jin Kucrit. Si jin tetaplah bertahan. Dari langit-langit kamar kudengar terang seperti benda berat sama-sama berjatuhan menerpa kepalaku. Braaakk! Gedebukkkk! Prang! Walau sebenarnya saya tahu, itu hanya pendengaranku saja. Tak nyata. 
Terkecuali sosok Jin Kucrit yang memerlihatkan penampakkannya dengan cara terang. Dia berbadan tinggi besar, nyaris meraih sepuluh mtr.. Rambut godrongnya memanglah tampak dikucir seperti style reserse saat saat ini. Mungkin saja, oleh karena itu diberi nama Jin Kucrit. Sepasang kupingnya sebesar telinga gajah. Matanya sebesar lampu sepeda motor, sedang sisi dada, tangan serta kakinya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Begitu menyeramkan! 
Saya bersukur, lantaran selang beberapa saat Jin Kucrit menyerah, mengakui kalah, serta berjanji bakal menyerahkan semuanya benda itu pada kami. Nyatanya benar. Sesudah lampu kunyalakan, batangan emas itu telah tersusun rapi diatas hamparan sajadah, tersebut dua buah liontin berupa bulat. Yang satu bergambar wanita. Satunya lagi bertuliskan Allah dalam bhs Arab. 
Dari dalam bambu pendek yang sangat terpaksa kupecahkan, ada juga gulungan kertas. Berisi menyampaikan kalau liontin bergambar wanita ditujukan spesial untuk putri tunggal almarhum Chaidir yang bernama Lena. Sesaat liontin bertuliskan Allah untuk isteri tersayangnya, yaitu Ibu Chaidar sendiri. 
Benda-benda itu lalu kuperlihatkan pada semuanya yang ada di situ. Kulihat mereka tersenyum senang melihat kesuksesan kerja kami. Terlebih Ibu Chaidar serta Lena. Mereka hampir tidak berkedip menyimak benda-benda bernilai itu. Heran, senang, namun berkesan tidak yakin pada pandangan mereka sendiri. 
“Betul-betul aneh, namun riil. Kok dapat ya benda yang ada didalam tanah di angkat ke atas, namun keramiknya tidak ada yang pecah satupun. Betul-betul tidak masuk logika. Semula saya paling tidak yakin sama yang beginian, ” kata Lena. 
“Kalau saat ini bagaimana? ” tanyaku. 
“Baru yakin seratus %. Soalnya ngeliat sendiri, serta dirumah sendiri lagi. ” 
“Liontinnya bisa Lena gunakan. Demikian halnya yang buat ibu, ” sela Pak Nurdin. “Kalau yang lain baiknya disimpan saja ditempat yang menurut ibu cukup aman. Bila ibu ingin jual, kelak saja bila telah cocok waktunya, seperti yang tercatat pada surat wasiat yang ditulis almarhum. Disini dijelaskan, jika digunakan sebelumnya genap waktunya enam th., taruhannya yaitu nyawa! ”. 
“Batas saat itu kapan, Pak? ” Lena ajukan pertanyaan lagi. 
“Kalau tidak salah tanggal 18 Februari 2004! ” jawabku. 
Walau demikian, lantaran yang dimaksud manusia senantiasa saja terasa kekurangan serta tidak pernah mensyukuri nikmat Allah, awal Januari 2004 Ibu Chaidar punya maksud jual 5 batang emas itu. Argumennya, terkecuali tertekan oleh keperluan hidup yang makin bertambah, juga untuk kembalikan duit minyak dagangannya yang belum ia setor penuh. Tidak enak, tuturnya. “Sudah dibantu, kok jadi ngeberatin yang nolong. ” 
Apa bisa buat. Saya serta Pak Nurdin merestui. Kebetulan juga pada saat itu kami tengah perlu duit untuk kepentingan sama. Selekasnya saya melaju ke satu diantara toko emas kenalanku di Pasar Agung. Akhirnya? 
Begitu mengecewakan sekali. Sungguh! Emas batangan itu beralih jadi kuningan sari. Saya jadi penasaran. Kubawa ke toko yang lain. Tetapi akhirnya sama. “Sama sekali tidak ada kandungan emasnya, Bang. Ini murni kuningan sari, ” kata si yang memiliki toko sesudah dua tiga kali mengetes kemurnian emas itu. 
Celaka tiga belas, fikirku. Sesudah Rp. 8 juta terbang dari dompet, lalu mati-matian bertarung melawan Jin Kucrit, akhirnya cuma kuningan sari. Meskipun masihlah ada harapan bakal prima dengan sendirinya jika tiba waktunya nantinya, atau lewat pertolongan orang pinter yang mempunyai pengetahuan spesial untuk “menyempurnakan” kuningan sari pada bentuk aslinya, itu kan baru hanya harapan. Dapat jadi fakta dapat tak. 
Semua kuserahkan pada Yang Maha Kuasa. Tetapi yang tentu, dari masalah ini saya memperoleh pelajaran bernilai kalau kita sebagai manusia sebaiknya dapat bersabar dalam menunggu suatu hal hal. Ya, bila saja kami jual lantakan emas itu sesuai sama saat yang diputuskan, mungkin saja emas itu akan tidak beralih jadi kuningan sari. 

Posting Komentar

0 Komentar